Ø
Pergaulan
Bebas hingga Pengaruh Internet
Apa yang
menyebabkan para remaja dan anak dibawah umur tega melakukan hal-hal diluar
nalar manusia itu? Ada banyak pihak berpendapat, pergaulan remaja yang bebas,
tanpa kontrol orangtua, menjadi faktor pemicu utama.
Belum lagi, kehadiran gadget yang menembus segala lini membuat anak-anak hingga remaja bebas mengakses internet, situs-situs berkonten porno dan tidak mendidik serta lainnya, membuat mereka menyerap informasi secara membabi buta tanpa bimbingan.
Tayangan-tayangan sinetron remaja di televisi yang lebih banyak mencontohkan hal-hal tidak baik, memperburuk kondisi di atas.
Anak-anak dan remaja disuguhkan, tayangan-tayangan yang tidak mendidik, seperti cara berpakaian yang mini, pacaran-pacaran di usia belia, peluk-pelukan, rangkul-rangkulan, dan banyak lagi.
Hal ini memberikan contoh yang tidak baik bagi perkembangan jiwa anak dan remaja. Padahal, anak dan remaja secara psikologi membutuhkan role model yang positif. Masa remaja adalah masa yang sangat rawan, dimana anak-anak masih mencari jati dirinya.
Lingkungan dan role model yang positif akan memberikan pengaruh yang baik bagi perkembangan jiwa dan mental mereka. Begitupun sebaliknya. Ketika lingkungan dan role modelnya bersikap negatif, maka anak dan remaja pun akan bersikap negatif.
Semua faktor di atas pada akhirnya ikut mendorong anak melakukan tindakan-tindakan di luar nalar manusia. Mulai dari melakukan pelecehan seksual, hingga berujung penghilangan nyawa seseorang.
Berdasarkan teori perkembangan psikososial dari Erik Erikson, remaja berusaha mencari identitas dirinya yang positif dari orang-orang yang mereka kenal atau orang di sekelilingnya. Nilai dan hal yang dilakukan orang di sekelilingnya akan mereka tiru dan terapkan dalam kehidupan mereka.
Karena itu, lingkungan keluarga menjadi benteng pertama bagi perlindungan dan pembentukan jati diri seorang anak. Ketika lingkungan keluarganya baik, positif, penuh kasih sayang, maka anak pun akan berkembang secara positif.
Belum lagi, kehadiran gadget yang menembus segala lini membuat anak-anak hingga remaja bebas mengakses internet, situs-situs berkonten porno dan tidak mendidik serta lainnya, membuat mereka menyerap informasi secara membabi buta tanpa bimbingan.
Tayangan-tayangan sinetron remaja di televisi yang lebih banyak mencontohkan hal-hal tidak baik, memperburuk kondisi di atas.
Anak-anak dan remaja disuguhkan, tayangan-tayangan yang tidak mendidik, seperti cara berpakaian yang mini, pacaran-pacaran di usia belia, peluk-pelukan, rangkul-rangkulan, dan banyak lagi.
Hal ini memberikan contoh yang tidak baik bagi perkembangan jiwa anak dan remaja. Padahal, anak dan remaja secara psikologi membutuhkan role model yang positif. Masa remaja adalah masa yang sangat rawan, dimana anak-anak masih mencari jati dirinya.
Lingkungan dan role model yang positif akan memberikan pengaruh yang baik bagi perkembangan jiwa dan mental mereka. Begitupun sebaliknya. Ketika lingkungan dan role modelnya bersikap negatif, maka anak dan remaja pun akan bersikap negatif.
Semua faktor di atas pada akhirnya ikut mendorong anak melakukan tindakan-tindakan di luar nalar manusia. Mulai dari melakukan pelecehan seksual, hingga berujung penghilangan nyawa seseorang.
Berdasarkan teori perkembangan psikososial dari Erik Erikson, remaja berusaha mencari identitas dirinya yang positif dari orang-orang yang mereka kenal atau orang di sekelilingnya. Nilai dan hal yang dilakukan orang di sekelilingnya akan mereka tiru dan terapkan dalam kehidupan mereka.
Karena itu, lingkungan keluarga menjadi benteng pertama bagi perlindungan dan pembentukan jati diri seorang anak. Ketika lingkungan keluarganya baik, positif, penuh kasih sayang, maka anak pun akan berkembang secara positif.
Ø
Kembali
ke Pendidikan Keluarga
Di era
teknologi seperti saat ini, peran dan tugas orangtua semakin berat. Karena saat
ini, seorang anak bisa mendapatkan banyak sekali informasi dari mana saja.
Berbeda dengan jaman dulu, yang hanya mengandalkan televisi.
Saat ini, semua hal bisa didapat dan ditemui di internet yang cukup diakses dari gadget mereka. Apalagi, hampir setiap orang tua kini telah membekali anaknya dengan gadget.
Tidak hanya itu, tuntutan zaman dan ekonomi saat ini telah membuat banyak orangtua mempercayakan pendidikan anaknya kepada institusi formal semata.
Sementara, pendidikan di dalam keluarga, begitu minim. Banyak sekali orangtua yang “menitipkan” anaknya di sekolah formal sejak pagi hari hingga sore.
Akibatnya, sedikit sekali interaksi antara orangtua dan anak. Padahal, pendidikan di dalam keluarga memegang peranan besar dalam membentuk karakter dan jati diri anak.
Anak-anak yang hidup di lingkungan keluarga yang hangat dan penuh cinta kasih, akan tumbuh menjadi pribadi yang positif.
Sebaliknya, anak yang hidup di lingkungan yang kurang perhatian akan menjadi pribadi yang kurang positif.
Karena itu, sudah saatnya, setiap orangtua kembali lagi ke khitahnya untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak. Bukan saja pendidikan formal, namun juga pendidikan di dalam keluarga.
Di era saat ini, orangtua harus memberikan perhatian yang lebih intens, menemani anak, dan mengawasi pergaulannya. Karena bisa saja, lingkungan di dalam rumah positif, namun di luar rumah tidak.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan orangtua agar anak bisa berkembang positif baik di dalam rumah maupun luar rumah, yakni dengan melibatkan anak dan mendorong mereka terlibat pada kegiatan-kegiatan positif.
Saat ini, semua hal bisa didapat dan ditemui di internet yang cukup diakses dari gadget mereka. Apalagi, hampir setiap orang tua kini telah membekali anaknya dengan gadget.
Tidak hanya itu, tuntutan zaman dan ekonomi saat ini telah membuat banyak orangtua mempercayakan pendidikan anaknya kepada institusi formal semata.
Sementara, pendidikan di dalam keluarga, begitu minim. Banyak sekali orangtua yang “menitipkan” anaknya di sekolah formal sejak pagi hari hingga sore.
Akibatnya, sedikit sekali interaksi antara orangtua dan anak. Padahal, pendidikan di dalam keluarga memegang peranan besar dalam membentuk karakter dan jati diri anak.
Anak-anak yang hidup di lingkungan keluarga yang hangat dan penuh cinta kasih, akan tumbuh menjadi pribadi yang positif.
Sebaliknya, anak yang hidup di lingkungan yang kurang perhatian akan menjadi pribadi yang kurang positif.
Karena itu, sudah saatnya, setiap orangtua kembali lagi ke khitahnya untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak. Bukan saja pendidikan formal, namun juga pendidikan di dalam keluarga.
Di era saat ini, orangtua harus memberikan perhatian yang lebih intens, menemani anak, dan mengawasi pergaulannya. Karena bisa saja, lingkungan di dalam rumah positif, namun di luar rumah tidak.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan orangtua agar anak bisa berkembang positif baik di dalam rumah maupun luar rumah, yakni dengan melibatkan anak dan mendorong mereka terlibat pada kegiatan-kegiatan positif.
Ø Dukungan Semua Pihak
Bukan
hanya orangtua, dukungan dari semua pihak sangat dibutuhkan bagi anak
menciptakan sikap positifnya. Semua pihak harus bahu membahu para remaja
mendapatkan identitas positif mereka.
Catalano, seorang peneliti dalam Positive Youth Development Program mengkonseptualisasikan bahwa indentitas diri remaja yang positif dapat dicapai melalui beberapa langkah.
Salah satunya, memberikan kesempatan kepada para remaja untuk melakukan kegiatan positif. Orangtua harus mendong dan memberikan dukungan agar anak bisa menyalurkan energinya kepada kegiatan positif itu.
Selain itu, membekali anak dengan pendidikan agama dan ilmu kehidupan, dapat membentengi anak dan remaja dari pengaruh negatif.
Teori identitas diri yang dikembangkan oleh James E Marcia mengemukakan, remaja sebaiknya diberi kesempatan untuk menentukan peran yang mereka inginkan.
Setelah mereka mendapatkan penjelasan mengenai berbagai peluang dan situasi positif, mereka akan merasa tertantang untuk memahami kondisi itu dan mendalami lebih lanjut.
Pihak lain yang berperan besar pada pembentukan karakter positif anak adalah sekolah. Sekolah harus menyediakan wadah bagi remaja dan anak untuk menyalurkan minat dan bakatnya.
Selain itu, agar energi yang dimiliki tersalur pada kegiatan-kegiatan yang positif.
Sekolah juga harus memberikan life skill pada anak, pengetahuan terkait kondisi terkini, agar mereka bisa menyaring berbagai informasi yang didapat dengan baik. Salah satunya, informasi yang mereka dapat dari internet.
Orangtua dan lingkungan juga harus memberikan apresiasi positif atas prestasi mereka. Dengan begitu, muncul rasa percaya diri anak dan mereka terus termotivasi untuk melakukan hal positif.
Orangtua juga berperan memberi lingkungan tinggal yang baik bagi anak. Karena anak yang besar di lingkungan buruk, cenderung berperilaku buruk. Begitu sebaliknya.
Media juga memiliki peran penting. Televisi misalnya. Sudah saatnya, televisi menayangkan program-program yang memberikan contoh baik.
Pemerintah dan lembaga terkait harus ikut mendorong agar televisi memberikan tayangan-tayangan yang mendidik.
Tayangan-tayangan dengan segmen anak dan remaja, harus benar-benar disortir agar sesuai dengan nilai-nilai agama, sosial dan kehidupan masyarakat Indonesia yang ketimuran.
Dengan begitu, kasus-kasus kekerasan dan seksual yang melibatkan remaja dan anak bisa ditekan.
Penyelesaian kasus-kasus kekerasan anak dan remaja, pelecehan seksual, pemerkosaan dan pembunuhan, tidak cukup dengan menangkap dan mengadili mereka.
Masih ada kerja panjang untuk mengesahkan payung hukum yang lebih tegas dan sekaligus mengkampanyekan pendidikan seksual yang lebih komprehensif.
Selain itu, kampanye “kembali ke pendidikan keluarga” juga harus kembali dimasifkan. Agar setiap orangtua memberikan perhatian lebih kepada perkembangan anaknya.
Tanpa itu semua, kisah Yuyun, Eno, dan lainnya, hanya akan berlalu begitu saja. Kasus Yuyun, Eno, dan lainnya, harus menjadi momen untuk berubah dan berbenah, bagi semua pihak.
Setiap keluarga, lingkungan, tokoh masyarakat, dunia pendidikan, pemerintah dan lainnya, kini harus bahu-membahu memberikan perhatian lebih kepada perkembangan dan perilaku positif anak.
Dengan begitu, darurat kejahatan seksual yang dilakukan remaja dan anak, bisa ditekan dan diperbaiki.
Catalano, seorang peneliti dalam Positive Youth Development Program mengkonseptualisasikan bahwa indentitas diri remaja yang positif dapat dicapai melalui beberapa langkah.
Salah satunya, memberikan kesempatan kepada para remaja untuk melakukan kegiatan positif. Orangtua harus mendong dan memberikan dukungan agar anak bisa menyalurkan energinya kepada kegiatan positif itu.
Selain itu, membekali anak dengan pendidikan agama dan ilmu kehidupan, dapat membentengi anak dan remaja dari pengaruh negatif.
Teori identitas diri yang dikembangkan oleh James E Marcia mengemukakan, remaja sebaiknya diberi kesempatan untuk menentukan peran yang mereka inginkan.
Setelah mereka mendapatkan penjelasan mengenai berbagai peluang dan situasi positif, mereka akan merasa tertantang untuk memahami kondisi itu dan mendalami lebih lanjut.
Pihak lain yang berperan besar pada pembentukan karakter positif anak adalah sekolah. Sekolah harus menyediakan wadah bagi remaja dan anak untuk menyalurkan minat dan bakatnya.
Selain itu, agar energi yang dimiliki tersalur pada kegiatan-kegiatan yang positif.
Sekolah juga harus memberikan life skill pada anak, pengetahuan terkait kondisi terkini, agar mereka bisa menyaring berbagai informasi yang didapat dengan baik. Salah satunya, informasi yang mereka dapat dari internet.
Orangtua dan lingkungan juga harus memberikan apresiasi positif atas prestasi mereka. Dengan begitu, muncul rasa percaya diri anak dan mereka terus termotivasi untuk melakukan hal positif.
Orangtua juga berperan memberi lingkungan tinggal yang baik bagi anak. Karena anak yang besar di lingkungan buruk, cenderung berperilaku buruk. Begitu sebaliknya.
Media juga memiliki peran penting. Televisi misalnya. Sudah saatnya, televisi menayangkan program-program yang memberikan contoh baik.
Pemerintah dan lembaga terkait harus ikut mendorong agar televisi memberikan tayangan-tayangan yang mendidik.
Tayangan-tayangan dengan segmen anak dan remaja, harus benar-benar disortir agar sesuai dengan nilai-nilai agama, sosial dan kehidupan masyarakat Indonesia yang ketimuran.
Dengan begitu, kasus-kasus kekerasan dan seksual yang melibatkan remaja dan anak bisa ditekan.
Penyelesaian kasus-kasus kekerasan anak dan remaja, pelecehan seksual, pemerkosaan dan pembunuhan, tidak cukup dengan menangkap dan mengadili mereka.
Masih ada kerja panjang untuk mengesahkan payung hukum yang lebih tegas dan sekaligus mengkampanyekan pendidikan seksual yang lebih komprehensif.
Selain itu, kampanye “kembali ke pendidikan keluarga” juga harus kembali dimasifkan. Agar setiap orangtua memberikan perhatian lebih kepada perkembangan anaknya.
Tanpa itu semua, kisah Yuyun, Eno, dan lainnya, hanya akan berlalu begitu saja. Kasus Yuyun, Eno, dan lainnya, harus menjadi momen untuk berubah dan berbenah, bagi semua pihak.
Setiap keluarga, lingkungan, tokoh masyarakat, dunia pendidikan, pemerintah dan lainnya, kini harus bahu-membahu memberikan perhatian lebih kepada perkembangan dan perilaku positif anak.
Dengan begitu, darurat kejahatan seksual yang dilakukan remaja dan anak, bisa ditekan dan diperbaiki.