2.2 Digital Cinema
·
2.2.A Bagaimana Produksi Film
Digital
Film adalah merupakan media
komunikasi sosial yang terbentuk dari penggabungan dua indra, yaitu adalah
penglihatan dan pendengaran, yang dimana mempunyai tema sebuah cerita yang
banyak mengungkapkan realita sosial yang terjadi di sekitar lingkungan tempat
dimana film itu sendiri tumbuh.
Produksi film adalah proses
pembuatan suatu film, mulai dari cerita, ide, atau komisi awal, melalui
penulisan naskah, perekaman, penyuntingan, pengarahan dan pemutaran produk
akhir di hadapan penonton yang akan menghasilkan sebuah program televisi.
Pembuatan film terjadi di seluruh dunia dalam berbagai konteks ekonomi, sosial,
dan politik,
dan menggunakan berbagai teknologi dan teknik sinema. Biasanya
pmebuatan film melibatkan sejumlah besar orang, dan memakan waktu mulai dari
beberapa bulan hingga beberapa tahun untuk menyelesaikannya, meski bisa lebih
lama lagi jika muncul masalah produksi.Tinjauan produksi film itu dapat dibagi
menjadi 3 yaitu ; pra-produksi, produksi dan post-produksi.
·
2.2.B Bagaimana Keunggulan dan
Keindahan Film Digital
1. Lebih Komprehensif
Perbedaan paling utama dan
mendasar adalah kemampuan media digital dalam melaporkan peristiwa dengan lebih
komprehensif pada pembaca. Sebuah berita di era digital tak hanya terdiri dari
teks dan foto, tapi juga tautan ke semua peristiwa sebelumnya yang mengawali
momen termutakhir dari berita bersangkutan.
Dengan satu klik, pembaca bisa
dibawa ke harta karun informasi digital yang bisa menjelaskan sejarah,
kronologi dan konteks dari peristiwa yang tengah diberitakan. Peranan ini tentu
saja tidak dimiliki oleh media cetak.
2. Lebih Otentik
Berita digital juga berpotensi
lebih otentik, karena bisa menampilkan realitas secara lebih utuh. Bisa ada
video di halaman yang sama dengan teks dan foto, sesuatu yang jelas menambah
kredibilitas dan akurasi dari informasi yang dimuat di sana.
3. Big Data
Media digital yang belum banyak
digali adalah kemampuannya menampilkan big data atau data besar. Semua
angka-angka hasil survei kesehatan, survei demografi, sensus, angka-angka hasil
pemantauan bertahun-tahun, kini sudah banyak tersedia sebagai data digital
terbuka (open data) dan dengan mudah dapat diakses di internet.
Jika dulu suratkabar atau
majalah hanya bisa memuat satu dua paragraf temuan berbagai survei itu dan
melengkapinya dengan wawancara dengan pakar untuk menafsirkan data, kini data
mentah itu bisa ditampilkan dengan utuh di laman media digital, dengan
visualisasi yang menarik dan mengundang rasa ingin tahu pembaca.
Jurnalisme data akan menjadi
tulang punggung utama jurnalisme di era digital, karena teknik ini memungkinkan
publik mengakses data mentah dengan utuh, tanpa perantara dari pakar,
pemerintah atau pengamat.
Untuk itu, jurnalis harus
belajar dan berusaha keras mencari semua data-data yang relevan buat publik,
membersihkannya dan menganalisanya, untuk kemudian ditampilkan dengan
visualisasi yang mudah dipahami audiens.
Hal itu sangat penting agar
data tak berhenti sebatas angka, namun bisa jadi pengetahuan yang berguna.
4. Interaksi Langsung
Yang satu ini menjadi kemampuan
media digital yang tidak ditemukan di media cetak manapun, yakni kemampuannya
untuk terhubung langsung dengan pembaca. Relasi atau engagement antara media,
jurnalis dan pembaca kini memasuki era baru.
Pembaca kini adalah bagian dari
redaksi, bagian dari newsroom di era digital. Mereka bisa memberikan tips,
bocoran, saran, komentar, secara real time, pada redaksi. Aturan baku di media
sosial adalah: selalu ada yang lebih tahu dari Anda di luar sana.
Pola diseminasi informasi di
era digital kini multi arah, tak lagi hanya searah dari ruang redaksi yang
“maha tahu” ke lautan pembaca yang perlu “diberi tahu”. Media massa kini adalah
bagian dari percakapan publik, dimana produksi informasi tak lagi dimonopoli
jurnalis.
Apa artinya? Ini kesempatan
besar untuk jurnalisme menjadi lebih relevan. Bukankah jurnalisme pada dasarnya
adalah upaya untuk menyediakan informasi yang penting dan berguna buat publik
sehingga publik bisa mengatur dirinya sendiri dengan lebih baik?
Jika khalayak ramai bisa
langsung berkomunikasi dengan media dan menyampaikan apa saja yang mereka
anggap penting, bukankah itu akan membuat redaksi dan jurnalis bisa bekerja
lebih baik?
Jika dulu sama sekali tidak ada
percakapan antara wartawan dan pembaca, kini publik dan media bisa bersama-sama
merumuskan agenda pemberitaan, memfokuskan perhatian pada lembaga-lembaga yang
memang perlu disorot karena dampaknya yang besar untuk kehidupan orang banyak.
·
2.2.C Bagaimana Distribusi dan
Pertunjukan Film Digital
Tahun 2008 infrastruktur distribusi relatif sama dengan saat ini.
Penyebab anjloknya jumlah penonton pada 1990 dibanding 2012 sudah jelas, yaitu karena sebagian besar bioskop “tradisional” dengan satu layar yang tersebar di berbagai pelosok
nusantara gulung tikar, dan sebaliknya bertumbuhan sinepleks mewah dengan beberapa
layar. Hampir semua sinepleks milik jaringan 21/XXI, yang ditopang
dengan jaringan importir milik sendiri,
serta berada di mal -
mal seputar Jabodetabek dan kota - kota besar.
Meskipun begitu, masa tayang film
Indonesia justru menjadi semakin singkat dari rata -
rata delapan minggu tahun lalu menjadi enam minggu. Hal itu disebabkan film impor yang beredar semakin banyak, bukan hanya
jumlah judulnya tetapi juga banyaknya layar menayangkan. Film-film besar Hollywood
kini diimpor PT Omega Film yang masih berkaitan dengan importir lama milik jaringan 21/XXI yang dilarang beroperasi oleh menteri Keuangan tahun lalu.
Berkurangnya masa tayang dan semakin sedikitnya layar yang menayangkan film
Indonesia dalam satu periode berarti mengurangi kesempatan masyarakat menonton.
Sayangnya, salah satu dari produser yang mengeluh
filmnya kehilangan banyak layar akibatnya serbuan
film impor baru tidak bersedia dikutip keterangannya karena alasan yang masuk akal.
Referensi :
https://fikrarachmania.wordpress.com/2016/10/27/digital-cinema/
No comments:
Post a Comment